Wednesday, November 28, 2012

Kisah tentang Anak Supir Angkot yang Jadi Direktur di New York



Inilah sebuah kisah tentang kegigihan, tentang impian yang tak sempat terucap, dan juga tentang makna ketekunan merajut nasib hidup.

Kisah ini berawal dari anak muda bernama Iwan Setyawan. Ia lahir di tahun 1974 dari desa udik di pinggiran kota Malang. Ayahnya hanya sopir angkot, dengan penghasilan yang amat pas-pasan. Ibunya hanya ibu rumah tangga biasa, yang tak kenal letih membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kesederhanaan.

Iwan menghabiskan masa kecil dan remajanya dalam hidup yang serba muram : lantai rumahnya hanyalah tanah tanpa tembok, ia harus berjualan makanan saat remaja demi menyambung biaya sekolahnya; dan ibu-nya berkali-kali menggadaikan apa yang ia punya hingga tandas. Semua demi menyambung hidup, demi membiayai pendidikan anak-anaknya.

Ia lalu menebus lelakon hidup yang muram itu dengan ketekunan belajar yang luar biasa : tak kenal letih ia belajar ditemani lampu petromaks yang kian redup. Ia meretas prestasi yang mengesankan saat SMA, hingga ia mendapat PMDK untuk kuliah di jurusan Statistik, IPB Bogor. Dari sinilah, pelan-pelan tirai hidup yang lebih terang disibak.

Selulus dari IPB, ia diterima bekerja di Nielsen Company, Jakarta : sebuah perusahaan riset pemasaran global yang ternama. Lantaran prestasi kerjanya yang mencorong, ia kemudian di-tugaskan untuk bekerja di kantor pusat Nielsen di New York. Selama 10 tahun ia berkelana di Manhattan, hingga mendudukup posisi Director, Client Management Nielsen Global Co.

Ada tiga serpihan pelajaran yang bisa di-ringkus dari kisah anak muda ini (yang kemudian ia tuliskan dalam novel realisme yang memukau berjudul 9 Summers 10 Autumns : Dari Kota Apel ke the Big Apple).

Lesson # 1 : Education is the best investment in your life.
Kisah mas Iwan menghadirkan semangat ini dengan nyaris sempurna. Ia tak akan mungkin mendapatkan PMDK ke IPB kalau prestasi belajar SMA-nya abal-abal. Dan ia juga bisa diterima di Nielsen lantaran bekal sarjana statistik dari kampus IPB.
Yang mengesankan adalah ketika ia bertekad menebus kemiskinannya itu dengan spirit belajar yang luar biasa : sejak ia sekolah SD hingga tamat kuliah, ia tak kenal lelah membaca buku-buku pelajaran/kuliah yang ia tekuni.

Lesson # 3 : Your Mother is Your Source of Success
Dari kisah yang dinarasikan dengan indah oleh mas Iwan, kita bisa melihat betapa besar peran ibu dia dalam mendidik anak-anaknya (Iwan adalah anak ketiga dari lima bersaudara; dan semua kakak adiknya relatif sukses).   Meski ibunya hanya menempuh pendidikan SD, namun ia menunjukkan talenta kecerdasaran ibu yang luar biasa : mengajarkan begitu banyak tentang ketegaran hidup, tentang etos ketekunan, dan juga tentang keikhlasan merajut nasib.

Ketika sudah menjadi eksekutif di kota New York, Iwan suka mengenang masa-masa kecilnya yang serba kekuarangan, mengenang ibunya yang harus menjual piring demi sesuap nasi dan biaya sekolah anak-anaknya.    Sambil memandang butiran salju dari jendela apartemennya di Manhattan, air mata anak muda itu sering luruh : ia selalu terkenang dengan kegigihan ibunya yang tak kenal lelah.

Lesson # 3 : Alumni Connection is Important Too. 
Iwan adalah lulusan IPB, dan jaringan alumni mereka yang tersebar dimana-mana itu (termasuk di Nielsen Co) sedikit banyak berperan dalam karir yang ia rajut.   Begitulah : kita mengenal adanya UI Connection, ITB Connection, IPB ataupun UGM Connection. Kuliah di kampus terkemuka memang bukan hanya dapat mutu; namun yang mungkin lebih penting adalah ini : jaringan alumni mereka yang tersebar dimana-mana (dan setiap saat mau membantu adik alumninya yang baru lulus).

Mari kita kenang,  betapa besar perjuangan Ibu dalam mendidik anak-anaknya, termasuk kita.



://strategimanajemen.net/2012/11/26/kisah-tentang-anak-supir-angkot-yang-jadi-direktur-di-new-york/#comment-13742


No comments: